Penyebab Rusaknya Ilmu
Sunday, 5 October 2008
Oleh: Shohib Khoiri, Mahasiswa tingkat akhir Universitas al-Azhar Kairo
Sudah empat belas abad yang lalu Rasulullah mewanti-wanti kita akan adanya ulama suu’ (buruk), mereka tidak mengajak kita kepada surga, akan tetapi justru mengajak kita kepada neraka. “Gelar” cendekiawan sering kali melenakan kita dan menipu kita, sehingga kita terkagum-kagum dan membenarkan segala perkataannya tanpa memperhatikan maksudnya. Saya teringat dengan nasehat kyai saya dahulu ketika masih di pesantren tentang bahaya penyakit ini, beliau berkata kurang lebih “Sebesar apa pun kecintaan kita pada seorang ulama atau orang-orang yang benar, maka janganlah hal tersebut melebihi cinta kita kepada kebenaran, karena orang benar tidak akan selamanya benar, sedangkan kebenaran selamanya akan benar”. Mungkin ini sesuai dengan pepatah arab “undzur maa qaala wa laa tandzur man qaala”, lihatlah apa yang dikatakan tetapi janganlah engkau melihat siapa yang mengatakannya..
Kalaulah kepada orang-orang yang ‘alim dan pintar kita tidak boleh terkagum-kagum dan taqlid buta, maka apalah jadinya jika seandainya kita terkagum-kagum kepada al-Muta’aalim (bukan al-muta’allim) yaitu orang-orang memperlihatkan diri seakan-akan berilmu, padahal tidak. Ulama-ulama terdahulu sudah mewanti-wanti akan hadirnya golongan al-muta’aalim ini, mereka banyak berkata-kata tentang agama dan ijtihad padahal mereka belum sampai pada derajat mujtahid, merekalah yang merusak ilmu dan agama. Maka tidak heran jika Ibnu Abidil Barr al-Qurthuby berkata dalam Jami’nya dan Al-Ghazali dalam Ihyanya “Lau sakata man lam ya’lam saqatha al-khilaf” (jika orang-orang yang tidak tahu diam niscaya tidak akan terjadi perselisihan).
Islam adalah agama yang mengenal istilah otoritas, Islam melarang kita untuk berbicara tentang dien semau mulut kita, islam mengajarkan kepada kita untuk bertanya tentang agama kepada mereka yang tahu atau ahli dalam bidangnya, fas-aluu ahla adz-dzikr in kuntum laa ta’lamun. Lalu siapakan para ulama itu? Allah berfirman: Innama yakhsyaLLaha min ‘ibaadihi al-ulama.. (Sesunggu yang paling takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah Ulama).. Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-A’dzimnya mengutip perkataan Ibnu Abbas mengenai pengertian kata ulama dalam ayat ini, Beliau berkata: al’aalim bi ar-Rahman man lam yusyrik bihi syai-an wa ahalla halaalahu wa harrama haraamahu wa hafidza washiyyatahu wa aiqana annahu mulaaqiihi wa muhaasab bi’ilmihi (orang yang mengenal ar-Rahman dengan tidak mempersekutukannya, menghalalkan apa-apa yang dihalalkannya, mengharamkan apa yang diharamkan oleh-Nya, menjaga segala wasiat-Nya/perintah-Nya dan yakin bahwa ia akan bertemu dengan-Nya serta akan dimintai pertanggung jawaban atas ilmu yang dimilikinya). Dari perkataan beliau sudah sangat jelas bahwa ulama adalah mereka yang mempunyai karakter diatas, yang dapat menyatukan antara ilmu dan amal dan yakin bahwa ilmu mereka akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak, maka dari itu ulama bukanlah mereka yang menghalakan homoseksual/lesbian, menghalalkan pernikahan muslimah dengan non muslim, menginjak lembaran-lembaran al-Quran atau mengatakan tidak ada hukum Allah di muka bumi walaupun mereka bergelar “cendekiawan”. Benarlah apa yang dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauriy: Ta’awwadzu billah min fitnatil ‘aabid al-jaahil wa min fitnati al-’aalim al-faajir, fa-inna fitnatahuma fitnatun likulli maftuun (Berlindunglah kepada Allah dari fitnah seorang ahli ibadah yang jahil dan dari fitnah seorang ‘alim yang gemar maksiat, karena fitnah keduanya ibarat sihir bagi orang-orang yang tersihir)
Menurut Syeikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah, seorang ulama yang tidak diragukan lagi keilmuan dan kesholehannya, salah satu faktor penyebab rusaknya ilmu sehingga terjadi berbagai macam perselisihan adalah: An ya’taqida al-insan fii nafsihi aw yu’taqada bihi annahu min ahli al-’ilm wa al-ijthaad fii ad-diin – wa lam yablugh tilka ad-darajah – fa ya’mal ‘alaa dzaalika (jika seseorang yakin atau diyakini bahwa ia termasuk ahli ilmu – padahal ia belum sampai pada derajat tersebut – kemudian ia beramal sesuai dengan ilmu yang ia yakini). Mereka berkata-kata tentang agama berdasarkan akal mereka atau mungkin mereka belajar kepada orang-orang men”tuhan”kan akal mereka..
Inilah apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallah ‘alaihi wa sallam : Laa yaqbidhuLLah intizaa’an yantazi’uhu min an-naas, wa laakin yaqbidhu al-’ilma biqabdhi al-’ulama, hataa idzaa lam yabqa ‘aalimun ittakhadza an-naas ru’asaa juhaalan fa su-iluu fa aftuu bi ghairi ‘ilm fa dhallu wa adhallu (Tidaklah Allah mencabut ilmu dengan cara melepaskannya dari manusia, akan tetapi Dia mencabutnya dengan cara mencabut ruh para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ‘alim diambilah oleh manusia orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka ditanya dengan berbagai macam pertanyaan dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan).
Inilah salah satu penyakit yang sering kali menyerang para “ulama”, yaitu malu untuk berkata tidak tahu atau ada keinginan untuk mengshowkan diri agar dapat disebut sebagai ‘alim atau cendekiawan. Mereka senang untuk ditanya padahal tidak tahu, tidak memperhatikan atau bahkan tidak segan-segan melanggar apa-apa yang sudah jelas dalam agama.. Mereka seperti apa yang dikatakan oleh Bisyr al-Hafy: Man ahabba an yus-al fa laisa bi ahlin an yus-al (Barang siapa yang senang untuk ditanya maka dia bukalah orang yang tepat untuk ditanya).
Perhatikanlah contoh mulia ketawadhuan dan kehati-hatian terhadap ilmu dari seorang ulama yang telah lama mendahului kita, yaitu al-Imam asy-Sya’biy, suatu ketika dikatakan kepada beliau :Kami malu atas sikapmu ketika engkau ditanya engkau mengatakan aku tidak tahu. Beliau berkata: Mengapa kita mesti malu, sedangkan malaikat saja tidak malu ketika ditanyakan kepada mereka perkara yang mereka tidak ketahui seraya berkata “Maha Suci Engkau tidaklah kami mengetahui kecuali apa-apa yang Engkau ajarkan kepada Kami”. (al-Baqarah: 32)
Selain itu perhatikanlah contoh-contoh ketawadhuan dan kehati-hatian para ulama kita terdahulu:
Imam Malik: Ketika ditanya puluhan pertanyaan kepadanya beliau tidak menjawabnya kecuali hanya sedikit, akan tetapai hal tersebut tidak membuat harga diri beliau turun atau jatuh.
Imam Ibnu Hibban: Ketika beliau mengarang bukunya (ats-Tsiqat) beliau sering terganjal ketika menulis biografi para rijal hadits dan berkata: Aku tidak tahu siapa dia dan aku pun tidak mengetahui siapakah ayahnya.
Imam Adz-Dzahabiy: Berhenti ketika membandingkan keutamaan antara Ummul Mu’minin Khadijah dan Ummul Mu’minin ‘Aisya Radhiyallah ‘anhuma.
Kalaulah para ulama diatas begitu tawadhu dan hati-hati terhadap ilmu, maka siapalah kita yang baru belajar agama kemarin sore. Mungkinkah kita berkata-kata tentang agama semau akal kita dengan keilmuan kita yang serba pas-pasan. Apakah melalui mulut kita umat ini mendapat hidayah ataukah sebaliknya justru karena mulut kitalah umat ini menjadi sesat.. Na’udzubillah.
Jika sekiranya seekor keledai memakai sehelai sutra
Maka tetaplah orang-orang akan memanggilnya: wahai keledai#