70 Luka Tanda Cinta
Thursday, 23 October 2008
“Mari kita kumpulkan harta rampasan!”
Dan ajakan itu pun bagaikan tiupan sihir. Apalagi harta kaum musyrikin yang tak bertuan lagi berserakan di depan mata. Tak ayal, pasukan pemanah itu pun turun dari atas bukit. Abdullah bin Jubair, Sang Panglima, mengingatkan mereka akan perintah Rasulullah SAW untuk tidak meninggalkan posisi mereka apapun yang terjadi, tetapi mereka tidak mau mendengar. Mereka yakin pasukan musuh sudah pergi dan tak akan kembali lagi.
Kini mereka sibuk memunguti dunia.
Naluri perang Khalid bin Walid pun bekerja. Saatnya telah tiba. Dan pasukan berkudanya dengan tiba-tiba muncul dari persembunyiannya di balik bukit. Mereka menerjang bagai badai gurun. Debu-debu padang pasir membubung beterbangan di belakang tapak-tapak kaki kuda mereka. Deras. Ganas. Tak terbendung. Pasukan musuh yang semula lari kocar-kacir, kini berbalik. Pasukan muslim pun terkepung dari dua arah. Terjepit. Dan nyali mereka pun kian menciut ketika ada seseorang yang berteriak, “Ketahuilah bahwa Muhammad telah gugur!”
Rasulullah tidaklah gugur. Tetapi, ujung topi perangnya menembus kedua pipinya. Bibirnya berdarah. Wajahnya pun penuh darah. Para sahabatpun merapat melindungi Nabi.
Ali bin Abi Thalib memegang tangan beliau. Thalhah mengangkat beliau hingga bisa berdiri. Malik bin Sinan mendekat kepada Nabi dan menghisap darah di wajah beliau, lalu menelannya. Abu Ubaidah bin Jarrah mencabut ujung besi yang menembus pipi beliau hingga gigi taringnya tanggal. Lalu ia mencabut ujung besi di pipi sebelahnya hingga gigi taringnya yang lain juga tanggal.
Abu Dujanah menjadikan dirinya sebagai tameng bagi Rasulullah. Punggungnya menjadi sasaran, penuh dengan anak panah. Sa’ad bin Abi Waqqash juga berdiri di samping Rasulullah sambil membidikkan anak panah ke arah musuh. Qatadah melindungi Nabi hingga matanya terkena panah.
Pasukan musyrikin terus merangsek maju. Sepuluh orang sahabat segera melindungi beliau hingga kesepuluh orang itu terbunuh. Ziyad bin Sakan bersama lima orang Anshar mati-matian membentengi Nabi. Satu persatu sahabat Anshar itupun terbunuh, termasuk Ziyad.
Thalhah bin Ubaidillah kemudian datang melindungi beliau hingga kedua tangannya terpenggal. Ketika Rasulullah ingin memanjat ke tempat yang lebih tinggi namun luka di tubuhnya tidak memungkinkan, Thalhah menjadikan badannya sebagai pijakan bagi Rasulullah.
Ketika pasukan Islam bergerak mundur, tidak demikian dengan Anas bin Nadzar. Ia justru bergerak maju. “Alangkah harumnya bau syurga, “ katanya. “Sungguh aku mencium bau syurga di perang Uhud ini.”
Ia kemudian bertemu dengan sekelompok Muhajirin dan Anshar yang berhenti berperang. Ia kaget dan bertanya, “Apa yang menjadikan kalian berhenti berperang?” Mereka menjawab, “Rasulullah telah terbunuh.” Paman Anas bin Malik itu berkata, “Jika Rasulullah telah terbunuh, lantas apa yang ingin kalian lakukan sepeninggal beliau? Bangkitlah dan gugurlah sebagaimana Rasulullah gugur.” Setelah itu, ia merangsek ke barisan lawan dan berperang dengan gigih hingga menemui syahid.
Ketika perang usai, Anas bin Malik menemukan 70 luka di tubuh pamannya itu. Tak ada yang bisa mengenali jasadnya selain adik perempuannya dari jari-jemarinya.
***
Setiap manusia memiliki gharizatul baqa’, yakni naluri untuk mempertahankan diri agar tetap hidup dan terhindar dari kematian yang mengancam jiwanya. Oleh sebab itu, kalau ada orang yang ketakutan, ambil langkah seribu, naik ke pohon yang tinggi, ataupun terpaksa harus menghunus pedangnya ketika berjumpa dengan harimau buas, itu semua merupakan respons yang instingtif dan wajar.
Manusia menghindari maut, karenanya, adalah kecenderungan yang naluriah. Jika kemudian ada manusia yang justru menempuh jalan menyongsong maut, maka itu berarti ada sesuatu yang jauh lebih besar yang membuatnya ridha sekalipun maut itu merenggutnya. Dalam hal ini bukan lagi naluri yang berbicara, melainkan lebih pada kesadaran mengambil pilihan. Sering pilihan itu bersifat spiritual-transendental, tidak bisa diukur dengan ukuran dunia.
Jika perang adalah saat di mana gharizatul baqa’ jelas-jelas di depan mata, maka adagium bahwa yang ada di dalam perang hanyalah “membunuh atau terbunuh” menjadi benar adanya. Dan sebuah pasukan perang, yang bergerak didasari keinginan untuk mencapai sesuatu yang jauh lebih besar dan mulia ketimbang maut, maka pasukan perang itu akan menjadi berlipat-lipat kekuatannya. Dengan kata lain, pasukan perang yang “mencari mati” lebih menggetarkan dan menggentarkan daripada yang hanya sekadar mencari popularitas, kekuasaan ataupun harta.
Dan sesuatu yang membuat hal itu mungkin terjadi adalah: cinta.
Perang Uhud adalah pelajaran tentang cinta. Ketika pengkhianatan dan ketidakamanahan menyebabkan kemenangan di depan mata berubah menjadi malapetaka, maka cinta mengatasinya. Dan sentral cinta itu tidak lain adalah Rasulullah SAW.
Ketika mendengar kabar bahwa Rasulullah gugur, maka tidak ada di dalam benak pasukan muslimin kecuali ingin menyusul Rasulullah gugur. Ketika mendapati beliau “hanya” terluka dan kemudian memanggil dan memompa semangat mereka kembali, maka semua merapat melindungi beliau meski punggung penuh panah, tangan terpenggal, tubuh terluka di 70 tempat, bahkan nyawa terenggut sekalipun. Mereka tidak rela sentral cinta mereka terlukai sedikitpun. Mereka lebih mencintai Rasulullah ketimbang diri mereka sendiri. Dan inilah yang kemudian bisa membalik keadaan hingga pasukan muslimin terhindar dari kekalahan yang parah.
Apakah itu semua dibangun dalam satu-dua hari? Tentu tidak. Rasulullah membangunnya sejak lama. Beliau memperlihatkan kepribadiannya yang terpuji, kokoh dan kuat sejak belia. Dan dari sanalah cinta itu bersemi, seiring dengan penderitaan, pengorbanan, kesengsaraan yang harus mereka alami selama 13 tahun di Makkah. Bahkan kenyataan akan cinta itu diakui oleh Abu Sofyan, pemuka Quraisy, dengan berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang mencintai sebagaimana sahabat-sahabat Muhammad mencintainya.”
***
Usai perang, Zaid bin Tsabit menemukan Sa’ad bin Rabi’ yang sedang sekarat dengan 70 luka sabetan pedang, hunjaman tombak, dan tusukan panah di tubuhnya. Ia berkata kepada Sa’ad, “Wahai Sa’ad. Sesungguhnya Rasulullah mengirim salam untukmu dan menanyakan bagaimana keadaanmu.”
“Bagi Rasulullah kesejahteraan,” jawab Sa’ad. “Katakan pada beliau bahwa saat ini aku telah mencium bau syurga. Dan katakan kepada kaumku orang-orang Anshar, bahwa mereka tidak akan bisa mengelak dari hukuman di sisi Allah manakala musuh berhasil mencelakai Rasulullah sementara ada di antara mereka yang masih hidup.”
Setelah itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
***