Akibat Cinta Dunia

Friday, 29 August 2008

“Rasulullah pernah bersabda kepada para sahabat, “Akan datang suatu masa, umat lain akan memperebutkan kamu, ibarat orang-orang yang lapar memperebut makanan dalam hidangan”. Lalu sahabat bertanya, “Apakah kerana pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit, ya Rasulullah?” Kemudian beliau menjawab: “Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada waktu itu banyak, tetapi kamu ibarat ghatsa (buih) yang terapung-apung di atas air bah. Dan di dalam jiwamu tertanam AL-WAHN.” Lalu sahabat bertanya lagi, “Apakah yang dimaksud dengan al-Wahn, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Iaitu CINTA DUNIA & TAKUT MATI.” (Riwayat Abu Dawud)

Suatu keadaan yang nyata di hadapan kita sekarang, bahawa jumalah umat Islam sangat banyak. Di dunia ini, satu million dari lima million penduduk bumi adalah Muslim. Tetapi kita saksikan bahawa jumlah yang banyak belum membawa umat ini keluar dari kesulitan-kesulitannya. Inilah rupanya yang diungkapkan Rasulullah dalam hadis di atas. Patutlah kiranya kita semua, umat Islam meneliti ke dalam, seberapa jauh kiranya kita sudah terjangkiti penyakit al-Wahn tersebut, penyakit cinta dunia dan takut akan kematian. Tentunya ini tak lepas dari kesalahan pandangan umumnya masyarakat Muslim terhadap kehidupan dunia. Mengapa sampai cinta pada dunia dan takut mati? Tentu ini kerana memandang bahwa dunia ini adalah tempatnya segala kesenangan, dan kematian adalah pemutus kesenangan tersebut. Sungguh suatu cara pandang yang sesat dan keliru.

Dunia Dalam Pandangan Allah

Pada suatu kesempatan lain, Rasulullah SAW memasuki sebuah pasar yang kanan dan kirinya ramai dipadati manusia. Ketika itu beliau melewati seekor anak kambing cacat yang telah menjadi bangkai. Tidak seorangpun mengacuhkan atau tertarik melihatnya. Lantas Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Siapa yang mahu membeli kambing ini dengan harga satu dirham?” Sahabat menjawab, “Sedikitpun, kami tidak menginginkannya.” Beliau bertanya sekali lagi, “Apakah kalian mahu jika anak kambing ini keberikan kepada kalian?” Sahabat menjawab, “Demi ALLAH, kalaupun anak kambing itu hidup, kami tidak akan menerimanya kerana cacatnya, maka bagaimana kami mahu menerimanya setelah menjadi bangkai?”

Mendengar itu Rasulullah SAW berkata, “Demi ALLAH, pandangan dunia itu lebih hina dalam pandangan ALLAH daripada bangkai kambing cacat ini dalam pandangan kalian.”

Bagaimana Mestinya Kita Memandang Dunia

Tirmidzi meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Rasulullah SAW tidur di atas tikar dan ketika bangun berbekaslah tikar itu pada belakangnya, lalu kami bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana seandainya kami buatkan untukmu tilam yang lunak?” Beliau bersabda, “Untuk apa dunia ini bagiku? Aku di dunia ini bagaikan seorang musafir, berhenti sebentar di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.”

Jadi, begitulah kiranya kita harus memandang dunia ini. Tak lebih dari pondok kecil dalam perjalanan yang panjang. Sungguh bodoh kalau kita samapai terpaku di pondok itu sehingga melupakan perjalanan panjang yang jadi tujuan kita. Jelaslah bahawa segenap aktiviti kita di muka bumi ini harusnya diarahkan untuk akhirat kita, yang kekal abadi. Seperti pernah dinyatakan oleh ulam besar kita, Bapa HAMKA semasa hidupnya, “Hidup yang sesungguhnya itu baru dimulai pada saat kita mati.”

Disabdakan lagi oleh Rasulullah SAW dalam analogi lain: “Dunia ini bagaikan penjara bagi orang mukmin dan bagaikan syurga bagi orang-orang kafir.”

Dalam Surah al-Hadid 57: 20, ALLAH berfirman: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keredhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Agar Tidak Tertipu Oleh Kehidupan Dunia

Memang manusia diciptakan denagan fitrah cenderung terhadap kesenangan dunia, dan ini boleh meningkat menjadi kecintaan. Itu merupakan ketentuan ALLAH SWT, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Surah Ali Imran 3: 14)

Tetapi, jika kecenderungan ini tidak dikendalikan, maka tumbuhlah ,ifat tamak pada manusia, sehingga seperti dikatakan Rasul, apabila diberi dua lembah penuh berisi emas, pasti ia akan mengkehendaki lagi lemabha ketiga yang penuh berisi emas. Inilah yang harus diatur dan diarahkan. ALLAH tidak melarang manusia untuk menikmati dunia ini, tetapi ada batas-batas yang harus dipatuhi, sebagaimana firmannya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Surah al-Qashash 28: 77)

Apakah kira batasan-batasan tersebut? Mari kita lihat…
Pertama, tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup.
“Dan sesungguhnya Kami menempatkan kamu di atas bumi ini dan Kami jadikan untuk kamu di atas bumi itu penghidupan buat kamu, tetapi sedikit sekali di antara kamu yang bersyukur.”
Untuk apa kita dihidupkan di bumi ini? Dalam banyak ayat, dinyatakan ALLAH bahawa manusia diberikan kehidupan, “ …untuk Kami uji siapa paling baik amalnya”.

Bagi seorang Muslim, dunia bukanlah suatu tujuan hidup, melainkan hanyalah sekadar alat atau jambatan untuk menuju tujuan hidup yang kekal abadi, iaitu kehidupan akhirat kelak. Bahkan dalam hadith, Rasulullah menyatakan bahawa keikhlasan pun dapat ternoda, dijelaskannya: “Yang mencampuri keikhlasan itu adalah kerakusan terhadap dunia dan mengumpul-ngumpulkannya.”

Kedua, tidak berlebihan-lebihan dengan dunia.
ALLAH telah menyatakan dengan jelas tentang kecenderungan manusia ini, “dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Surah al-Fajr 89: 20)

Maka Islam mengatur sikap seorang Muslim terhadap kehidupan dunia, iaitu mempergunakan secara secukupnya untuk keperluan diri dan keluarga, asal tidak berlebihan dan bermewah-mewahan kerana perkara itu akan melalaikan kita. Firman-Nya: “Al hakumut takaatsur.” (bermegah-megah telah melalaikan kamu).

Sementara dalam ayat yang lain dinyatakan: “Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berkan kepadamu, dan jangalah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah dia.” (Surah Thaha 20: 21).

Rasulullah SAW pun pernah bersabda: “Kami adalah kaum yang tidak makan sebelum merasa lapar dan bila kami makan tak pernah kekenyangan.” (Riwayat Bukhari & Muslim).

Ketiga, tidak bersifat kikir dan bakhil.
Sebaliknya, ALLAH memuji hamba-Nya yang mejauhi kikir dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Surah al-Furqan 25: 67)

Keempat, mengutamakan kesederhanaan dan berikap qanaah.
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahawa Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah orang yang di bawahmu, dan jangan melihat orang yang di atasmu, kerana yang demikian itu lebih baik, supaya kamu tidak meremehkan nikmat yang dikurniakan ALLAH kepadamu” (Riwayat Bukhari & Muslim)

Mari kita mengambil teladan pada Nabi Yusuf as., dia mendapat kepercayaan dari Raja Mesir untuk mengatur seluruh kekayaan negara, tetapi dia sendiri hampir tiap hari berpuasa. Ketika orang bertanya, dia menjawab, “Aku takut kenyang dan melupakan orang yang lapar.”

Zuhud, Pola Hidup Rasulullah s.a.w Dan Para Sahabatnya

Zuhud, bererti menjauhi hal-hal yang bersifat materi, atau senangnya, pola hidup sederhana. Dengan pola hidup zuhud inilah, para sahabat menjalani kehidupannya. Bila kita merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau oleh kehidupan dunia, seperti para sahabat, maka kita akan terbebas dari hidup yang menyesakkan. Kita akan memiliki cara pandang baru terhadap dunia. Jika kita merasa sesak, sedih, murung, gelisah, pedih, dirisaukan oleh orang banyak masalah nyata ataupun khayal, maka dengan zuhud kita dapat melaluinya.

Secara ringkas, zuhud bererti meletakkan kebahagiaan bukan pada dunia dan keduniaan, Zuhud memiliki ciri-ciri:
tidak menggantungkan kebahagiaan hidup pada apa yang dimiliki.
kebahagiaan seorang yang zuhud tidak terletak pada hal-hal material, melainkan pada hal-hal spiritual.

Zuhud bukanlah bererti meninggalkan dunia dan kenikmatan duniawi, melainkan tidak meletakkannya pada darjat yang tertinggi, seperti dinyatakan Rasulullah, “Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal, bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud dalam dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu lebih diperlukan dari apa yang ada di sisi ALLAH SWT.”

Buah lain dari zuhud adalah mendekatkan hati kita kepada ALLAH dan manusia, begitupun sebaliknya, ALLAH pun mencintai kita, dan hati manusia pun akan dekat kepada kita. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahawa seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukilah aku pada suatu amal yang bila aku kerjakan, aku dicintai ALLAH dan dicintai manusia.” Lalu Rasulullah bersabda, “Zuhudlah kamu akan dunia, pasti ALLAH mencintaimu. Zuhudlah engkau akan apa yang ada pada manusia, pasti manusia mencintaimu.”

Posted by hAiRiL/spiderman_pink at 23:32  

0 comments:

Post a Comment