Karena Perbedaan Pendidikan
Thursday, 5 June 2008
Sebagai wanita, saya memiliki begitu banyak pertimbangan sebelum memasuki pintu pernikahan. Saya menganggap diri saya tergolong cukup sukses dari segi pendidikan karena berhasil meraih gelar sarjana. Sehingga waktu itu saya berpendirian, untuk mendapat suami kelak yang memiliki pendidikan minimal setara dengan saya.
Tetapi Allah-lah yang Maha Mengatur segalanya. Dan saya hanya hamba yang tak berdaya, ketika sudah berhadapan dengan kehendak-Nya. Meskipun pernikahan ini terlaksana atas kehendak kami berdua, tanpa ada paksaan dari mana pun, namun saya saya merasa jodoh yang dikaruniakan Allah ternyata tidaklah seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Suami berpendidikan di bawah saya, dengan latar belakang pondok pesantren.
Memasuki sebagai suami istri, di antara kami berdua sering terjadi pertengkaran kecil. Penyebabnya adalah perbedaan prinsip di antara kami, terutama dalam memahami din. Ternyata perbedaan pendidikan, kadang-kadang membedakan pula pola pikir kami. Awalnya, saya merasa tak mungkin bisa terus bertahan bersama suami. Saya merasa akan gagal membina rumah tangga. Namun berbeda dengan saya, suami optimis bahwa saya adalah istri yang tepat untuknya buat selamanya.
Di tengah situasi seperti ini sayapun berpikir, kenapa saya tidak bisa menjadi guru dalam rumah tangga sendiri? Padahal selama ini saya dinilai orang sebagai guru yang berhasil di madrasah tempat saya mengajar. Sebagai guru, saya mampu memenuhi fungsi mengajar, membimbing, mengarahkan dan mendidik. Saya juga harus mampu menghadapi segala situasi dari berbagai keunikan siswa. Apakah dari pengalaman ini saya tidak mampu mengadopsinya dalam rumah tangga sendiri? Tentunya di sini bukan dalam artian mengambil alih kepemimpinan suami.
Sesungguhnya, saya tidak ingin gagal membina rumah tangga, apalagi setelah dikaruniai bayi laki-laki mungil sebagai buah cinta dan kasih sayang kami. Sejak awal pun, cita-cita saya adalah menjadi istri yang shalihat dalam kepemimpinan suami yang juga shaleh.
Setelah saya renungi, ternyata saya lah yang selama ini kurang bisa mendudukkan diri. Saya terlalu terpaku pada teori di bangku pendidikan padahal kehidupan praktis kadang-kadang tidak sekaku teori. Bukankah selama ini suami cukup paham dengan aktivitas saya di luar rumah? Sebagaimana cita-cita awal, yaitu ingin membina rumah tangga sakinah, setiap saat dalam do'a, saya selalu memohon agar perjalanan rumah tangga kami selalu berada di jalan-Nya dan perbedaan pendidikan tidak menjadi masalah yang berarti.
Ternyata betul kata salah seorang psikolog, bahwa menikah adalah sebuah perjalanan tanggung jawab yang besar, mulia, dan agung sehingga siapa pun harus siap menanggungnya. Rumah tangga yang sakinah, mawwadah, dan penuh rahmat memang harus diwujudkan dengan sebuah perjuangan. Kini ketika saya lebih pengertian terhadap suami dengan ditunjang do'a, perbedaan itu seakan kian menipis.
Gimana mau maju kalau pemerintah hanya memberikan anggaran pendidikan yang sedikit di APBN.
Nasib guru bantu dan honorer yang gak pernah sejaterah menambah wajah buruk pendidikan nasional kita.
oiya pasang widget infogue.com. Bisa nambah pengunjung lho.
kayak diblog gue.
http://pendidikan.infogue.com/karena_perbedaan_pendidikan